PEMIMPIN

 

"Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wayukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah. (Q.S Al Anbiyaa’ 21 : 73 ).

Berlandaskan ayat diatas kita akan menyadari bahwa seorang pemimpin adalah orang-orang terpilih dan digariskan oleh Allah SWT menjadi pemimpin.

Pemimpin disini tidak hanya memimpin suatu negara, lembaga atau apapun bentuk dan ujudnya minimal pemimpin diri sendiri ataupun pemimpin dalam rumah tangga.

Kita disini tidak akan membahas apa itu pemimpin dalam pengertian ataupun teori-teori yang menguraikan tentang pemimpin / kepemimpinan, karena sudah banyak ahli yang membahasnya.

Di sini penulis mencoba memaparkan sebuah bahan renungan, baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca pada umumnya, karena menjadi seorang pemimpin bukanlah perkara gampang dan mudah yang bisa dilaksanakan oleh semua orang, semua yang dilaksanakan akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT.

Berikut ini penulis memaparkan sebuah dialog antara seorang Awliya yang bernama Fuzail bin Iyaz dengan Khaalifah Harun Ar-Rasyid dalam buku Warisan Para Awliya karangan Farududdin al-Attar yang diterjemahkan oleh Anas Mahyudin, yang diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA –Perpustakaan Salman ITB.

Kisahnya begini :

Pada suatu malam, Harun ar-Rasyid memanggil Fazl Barmesid, salah seorang di antara pengawal-pengawal kesayangannya. Harun ar-Rasyid berkata kepada Fazl :

"Malam ini bawalah aku kepada seseorang yang menunjukan kepadaku siapakah aku ini sebenarnya. Aku telah jemu dengan segala kebesaran dan kebanggaan".

Falz membawa Harun ar-Rasyid ke rumah Shofyan al-Uyaina, mereka mengetuk pintu dan dari dalam Shofyan menyahut : "Siapakah itu ?.

"Pemimpin kaum Muslimin " jawab Fazl.

Shofyan berkata : " Mengapakah sultan sudi menyusahkan diri?, Mengapa tidak dikabarkan saja kepadaku sehingga aku datang sendiri untuk menghadap?".

Mendengar ucapan tersebut Harun ar-Rasyid berkata: "Ia bukan orang yang kucari. Ia pun menjilatku seperti yang lain-lainnya". Mendengar kata-kata sultan tersebut, Shofyan berkata:" Jika demikian Fuzail bin Iyaz adalah orang yang engkau cari. Pergilah kepadanya", kemudian shofyan membacakan ayat: "Apakah orang-orang yang berbuat aniaya menyangka bahwa kami akan mempersamakan mereka dengan orang-orang yang beriman serta melakukan perbuatan-perbuatan yang saleh?". Harun ar-Rasyid menimpali: "Seandainya aku menginginkan nasehat-nasehat yang baik niscaya ayat itu telah mencukupi".

Kemudian mereka mengetuk pintu rumah Fuzail. Dari dalam Fuzail bertanya: "Siapakah itu ?" .

"Pemimpin kaum muslimin ", jawab Fazl.

"Apakan urusannya dengan aku dan apakah urusanku dengan dia?", tanya Fuzail.

"Bukankah suatu kewajiban untuk mematuhi para pemegang kekuasaan?, sela Fazl.

"Janganlah kalian menggangguku", seru Fuzail.

"Perlukah aku mendobrak pintu dengan kekusaanku sendiri atau dengan perintah sultan?, tanya Fazl.

"Tidak ada sesuatu yang disebut kekuasaan ", jawab Fuzail. "Jika engkau secara paksa mendobrak masuk, engkau tahu apa yang engkau lakukan".

Harun ar-Rasyid melangkah masuk. Begitu Harun menghampirinya, Fuzail meniup lampu sehingga padam agar ia tidak melihat wajah sultan. Harun ar-Rasyid mengulurkan tanganya dan disambut oleh tangan Fuzail yang kemudian berkata :

"Betapa lembut dan halus tangan ini! Semoga tangan ini terhindar dari api neraka!".

Setelah berkata demikian Fuzail berdiri dan berdoa. Harun ar-Rasyid sangat tergugah hatinya dan tak dapat menahan tangisnya.

"Katakanlah sesuatu kepadaku", Harun bermohon kepada Fuzail.

Fauzil mengucapkan salam kepadanya dan berkata :

"Leluhurmu, pamanda Nabi Muhammad, pernah meminta kepada beliau: ‘Jadikanlah aku pemimpin bagi sebagian ummat manusia’. Nabi menjawab ’Paman, untuk sesaat aku pernah mengangkatmu menjadi pemimpin dirimu sendiri’. Dengan jawaban ini yang dimaksud Nabi adalah: Sesaat mematuhi Allah adalah lebih baik dari pada seribu tahun dipatuhi oleh ummat manusia. Kemudian Nabi menambahkan:,Kepemimpinan akan menjadi sumber penyesalan pada hari berbangkit nanti’ ". "Lanjutkanlah", Harun ar-Rasyid meminta.

"Ketika diangkat menjadi khalifah, ‘ Umar bin Abdul Aziz memanggil Salim bin Abdullah, Raja’bin Hayat, dan Muhammad bin Ka’ab. Umar berkata kepada mereka:

"Hatiku sangat gundah karena cobaan ini. Apakah yang harus dilakukan? Aku tahu bahwa kedudukan yang tinggi ini adalah cobaan walaupun orang-orang lain menganggapnya sebagai suatu karunia’. Salah seorang antara ketiga sahabat ‘Umar itu berkata:

"Jika engkau ingin terlepas dari hukuman Allah diakhirat, pandanglah setiap Muslim yang lanjut usia sebagai ayahmu sendiri, setiap Muslim yang remaja sebagai saudaramu sendiri, setiap muslim yang masih kanak-kanak sebagai puteramu sendiri, dan perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya seseorang memperlakukan ayahnya, saudaranya dan puteranya’ ". "Lanjutkanlah! ", Harun ar-Rasyid meminta lagi.

"Anggaplah negeri Islam sebagai rumahmu sendiri dan penduduknya sebagai keluargamu sendiri. Jenguklah ayahmu, hormatilah saudaramu dan bersikap baiklah kepada anakmu. Aku sayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus di dalam api neraka. Takutilah Allah dan taatilah perintah-perintah-Nya. Berhati-hatilah dan bersikaplah secara bijaksana, karena pada hari berbangkit nanti Allah akan meminta petanggungjawabanmu sehubungan dengan setiap muslim dan Dia akan memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Apabila ada seorang wanita ‘uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, dihari berbangkit nanti ia kan menarik pakaianmu dan akan memberikan kesaksian yang memberatkan dirimu".

Harun ar-Rasyid menangis dengan sangat getirnya sehingga tampaknya ia akan jatuh pingsan. Melihat hal ini wasir Fazl menyentak Fuzail:

"Cukup! Engkau telah membunuh pemimpin kaum muslimin!".

"Diamlah Haman! Engkau dan orang-orang yang seperti engkau inilah yang telah menjerumuskan dirinya, kemudian engkau katakan aku yang membunuhnya. Apakah yang kulakukan ini suatu pembunuhan?"

Mendengar kata-kata Fuzail ini tangis Harun ar-Rasyid semakin menjadi-jadi. Ia menyebutmu Haman", kata Harun sambil memandang Fazl, "karena ia mempersamakan diriku dengan Fira’un.

Kemudian Harun bertanya kepada Fuzail: Apakah engkau mempunyai hutang yang belum dilunaskan?".

"Ya", jawab Fuzail, hutang kepatuhan kepada Allah. Seandainya Dia memaaksaku untuk melunasi hutang ini celakalah aku!".

"Yang kumaksudkan adalah hutang kepada manusia, Fuzail", Harun menegaskan.

"Aku bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniakan kepadaku sedemikian berlimpahnya sehingga tidak ada keluh kesah yang harus kusampaikan kepada hamba-hamba-Nya.

Kemudian Harun ar-Rasyid menaruh sebuah kantong uang yang berisi seribu dinar di hadapan Fuzail sambil berkata:"Ini adalah uang halal yang diwariskan ibuku".

Tetapi Fuzail mencela : "Wahai pemimpin kaum Muslimin, nasehat-nasehat yang kusampaikan kepadamu ternyata tidak ada faedahnya. Engkau bahkan telah memulai lagi perbuatan salah dan mengulangi kezaliman".

"Perbuatan salah apakan yang telah kulakukan?", tanya Harun.

"Aku menyuruhmu ke jalan keselamatan tetapi engkau menjerumuskan aku ke dalam godaan. Bukankah hal itu suatu kesalahan? Telah ku katakan kepadamu, kembalikanlah segala sesuatu yang ada padamu kepada pemiliknya yang berhak. Tetapi engkau memberikannya kepada yang tidak pantas menerimanya. Percuma saja aku berkata-kata".

Setelah berkata demikian, Fuzail berdiri dan melemparkan uang-uang emas itu keluar.

Dari pemaparan kisah tersebut di atas, sekarang kita kembali kedalam pemikiran kita masing-masing. Bagaimana kita menyikapi kisah tersebut tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Dan apapun jabatan dan setinggi apapun jabatan yang kita capai, semoga kisah tersebut dapat kita teladani dan minimal dapat dijadikan bahan renungan bagi kita baik jadi pemimpin maupun menjadi yang dipimpin.

Kami yakin para pembaca telah banyak mendengar, memperhatikan, membaca dan sebagainya tentang berbagai pengalaman pemimpin-pemimpin Islam yang gagah berani dan bijaksana dalam melaksanakan tugasnya. Kisah diatas hanya sebagian kecil dari kisah yang ada. Namun apa yang hendak dicapai dari pemaparan kisah diatas tidak lain adalah, kami mencoba mengetuk kembali hati sanubari kita dalam menjalani kehidupan ini. Kita mencoba untuk merenungi kembali perjalanan hidup kita, apakah kita sudah menjadi pemimpin yang sesuai dengan nilai-nilai Islami. Apakah dalam memimpin rumah tangga kita telah melaksanakan tugas sebagai pemimpin rumah tangga yang Islami. Pemimpin negara /pemerintahan, perusahaan, lembaga dan sebagainya sudah mendekati seperti pesan-pesan diatas, atau hanya sekedar mengikuti arus yang terjadi, dengan satu sikap arogan .

Apakah kita sudah mengembalikan sesuatu yang ada pada diri kita kepada pemiliknya yang berhak ?, seperti pesan Fuzail di atas, atau memberikan sesuatu hanya sekedar untuk mengamankan jabatan sekarang yang kita pegang ?.

Sebagai penutup penulis mengutip sebuah pepatah Minang mengatakan :

"Rajo Alim rajo disambah, Rajo Lalim rajo disanggah".

Nah kembali juga kepada diri kita masing-masing apakah akan menjadi pemimpin yang dihormati / dipatuhi atau akan menjadi pemimpin yang selalu akan ditentang.,

Akhirnya kepada Allah jualah kita berserah diri dan memohon ampunan-Nya, semoga bermanfaat.

Wassalmualaikum Wr.Wb.

 

 

 

GUNANDA.